A. Perencanaan
Pengobatan Asma
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol
penyakit. Jika kondisi stabil minimal dalam 1 bulan maka disebut asma
terkontrol. Untuk mencapai asma terkontrol ada 3 hal yang penting untuk
diperhatikan yaitu, obat-obatan, tahapan pengobatan, dan penganganan asma
mandiri. Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, yang obat-obatannya terdiri dari pengontrol dan pelega (Anonim,
2003).
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan tiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan
asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol bisa juga disebut pencegah,
meliputi (Anonim, 2003):
- Kortikosteroid inhalasi dan sistemik
- Sodium kromoglikat
- Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi dan oral
- Antihistamin generasi II
- Leukotrien modifiers
Berbeda halnya dengan pengontrol, jika pelega
(reliever) untuk dilatasi jalan napas memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperresponsif jalan napas. Termasuk pelega (Anonim, 2003):
- Agonis beta-2 kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik
- Antikolinergik
- Aminofilin
- Adrenalin
B. Obat
adrenergic
Obat ini disebut obat adrenergic karena efek yang
ditimbulkannya mirip dengan perangsanan pada saraf adrenergic, atau mirip
neurotransmitter epinefrin dan norepinefrin. Kerja obat adrenergic dapat
dikelompokkan menjadi 7 jenis, yaitu perangsangan organ perifer, inhibisi organ
perifer, perangsangan jantung, sistem saraf pusat, efek metabolik, efek endokrin,
dan efek prasinaptik. Obat adrenergic ada yang bekerja secara langsung maupun
tidak langsung (Sulistia & Gan, 2011).
Obat adrenergic yang bekerja secara langsung pada
reseptor adrenergic di membrane sel efektor disebut obat adrenergic kerja
langsung. Contohnya seperti isoproterenol, pada dosis yang biasa diberikan
hanya bekerja pada reseptor B1 dan B2, sedikit sekali bisa mempengaruhi
reseptor alfa. Sedangkan fenilefrin kebalikannya, hanya memperngaruhi reseptor
alfa dan sedikit sekali efeknya pada B1 dan B2. Jadi efek suatu obat adrenergic
dapat diketahui jika diketahui reseptor mana yang dipengaruhinya (Sulistia
& Gan, 2011). Tabel berikut menunjukkan distribusi subtipe adrenoceptor.
Berbeda halnya dengan obat adrenergic kerja tidak
langsung, diperlukan mekanisme ambilan obat adrenergic ke dalam ujung saraf
adrenergic melalui NET (Norepinefrin Transporter) dan ke dalam gelembung sinaps
melalui VMAT-2 (Vesicular Monoamine Transporter). Amfetamin dan tiramin
merupakan contoh obat adrenergic yang bekerja tidak lansgung, artinya
menimbulkan efek adrenergic melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung
saraf adrenergic (Sulistia & Gan, 2011)
Kaitan penggunaan
obat adrenergic dengan pasien asma sangat kuat dan dapat dijelaskan berdasarkan
patofisiologi yang mendasari terjadinya asma. Beta adrenergic short acting
merupakan terapi dasar dan drug of choice
pada serangan asma. Cara kerjanya adalah dengan menstimulasi reseptor beta
adrenergic sehingga menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP, dengan
demikian timbul relaksasi otot polos jalan napas dengan hasil akhir berupa
bronkodilatasi. Ada dua reseptor beta, yang pertama B1 terutama terdapat di
jantung, dan B2 yang berada d epitel saluran napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, dan pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan
pankreas (Katzung, 2007). Golongan obat yang termasuk beta adrenergic adalah epinefrin dan B2
agonis selektif, namun fokus pembahasan menekankan pada B2 agonis adrenergic
selektif.
a. B2
Agonis selektif
Obat-obat yang termasuk B2 agonis adalah
metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol,
formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan
ritodrin. Pada dosis rendah, obat-obatan ini memiliki kerja yang kuat terhadap
reseptor B2 dibanding B1, namun jika dosisnya ditinggikan selektifitas tersebut
hilang. Melalui aktivitas reseptor B2, obat ini menimbulkan relaksasi otot
polos bronkus, uterus, dan pembuluh darah otot rangka. Jika reseptor B1 ikut
teraktivasi maka efeknya adalah stimulasi ke jantung. Obat ini hanya
menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, dikembangkan terutama untuk
pengobatan asma bronkial. Namun demikian penggunaan masing-masing obat B2
agonis ini tidak sama selektivitasnya. Misalnya metaproterenol kurang selektif
dibanding salbutamol dan penggunaan ritodrin, terbutalin, dan fenoteril digunakan
(sebagai infuse) untuk menunda kelahiran premature (Sulistia & Gan, 2011).
Mekanisme kerja beta agonis telah diteliti secara
detail. Aktivasi subtipe reseptor B1, B2, dan B3 menghasilkan aktivasi adenilat
siklase dan peningkatan konversi ATP menjadi cAMP. Aktivasi enzim siklase
dimediasi oleh stimulatory coupling protein Gs. cAMP merupakan second messenger
utama dalam aktivasi reseptor beta. Beta agonis bekerja dalam memperbaiki
gejala obstruksi pernapasan pada pasien asma dengan bronkodilatasi akibat dari
relaksasi otot-otot polos saluran pernapasan (Katzung, 2007).
Walaupun mekanismenya pada otot polos masih belum
pasti, kemungkinan mekanisme ini melibatkan fosforilasi myosin light-chain
kinase menjadi bentuk inaktif. Pada gambar 1 dan 2 dapat dilihat secara jelas
bagaimana mekanisme molecular dari beta agonis bekerja. B2 agonis selektif
dibagi menjadi dua berdasarkan lama kerjanya, yaitu short acting B2 agonist
(SABA) dan long acting B2 agonist (LABA) (Katzung, 2007).
1. SHORT
ACTING B2 AGONIS
Gejala asma ringan sampai sedang memberikan respon
yang cepat terhadap inhalasi adrenoseptor beta-2 selektif kerja pendek. Contoh
yang termasuk SABA adalah salbutamol dan terbutalin.Cara pemberian selain oral
adalah melalui inhalasi dengan inhaler/nebulizer dan subkutan atau intravena.
Onset kerja melalui inhalasi lebih cepat yaitu 1 menit, dan efek puncaknya
dicapai dalam waktu 10 menit, durasi kerja mencapai 4-6 jam (Rahajoe et al., 2013)
Obat yang sering digunakan untuk pasien asma adalah
salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15
mg/kg/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali,
diberikan setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kg/kali, setiap 6 jam. Pemberian oral
akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncaknya dicapai
dalam waktu 2-4 jam, dan durasi kerja obat ini hingga 5 jam (Rahajoe et al., 2013).
Pemberian obat B2 agonis adrenergic dapat dilakukan
dengan inhalasi atau injeksi, namun cara inhalasi lebih disukai daripada
subkutan atau intravena karena dapat menghindari risiko nyeri dan kegelisahan
pada pasien. Untuk asma serangan ringan dapat diberikan metered dose inhaler
(MDI) 2-4 semprotan setiap 3-4 jam, untuk asma serangan sedang 6-10 semprotan
setiap 1-2 jam, dan untuk serangan asma berat memerlukan 10 kali semprotan.
Pemberian MDI dengan spacer atau masker pada pasien asma akut dengan dosis 3-4
kali semprotan memiliki efek yang sama dengan nebulizer. Salbutamol nebulizer
daapat diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mg/kg (maksimal 5 mg/kali) dengan
interval 20 menit atau nebulisasi kontinyu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg/jam
(maksimal 15mg/jam). Sedangkan nebulisasi dengan terbutalin diberikan dengan
dosis 2,5 mg atau 1 repsules/nebulisasi. Pasien yang tidak responsive terhadap
pemberian 2 kali inhalasi atau nebulizer maka dikategorikan sebagai
non-responder, dan pada inhalasi ke-3 dapat ditambahkan ipratropium bromide (Rahajoe
et al., 2013).
Pemberian alternatif jika alat inhaler atau
nebulizer tidak tersedia adalah melalui injeksi subkutan salbutamol dengan
dosis 10-20 mcg/kg/kali, sedangkan dosis terbutalin subkutan 5-10 mcg/kg/kali.
Pemberian subkutan tidak memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik
daripada nebulisasi (Rahajoe et al.,
2013).
Pemberian B2 agonis berguna pada serangan asma berat
karena pada kondisi ini seringkali nebulisasi obat tidak dapat mencapai distal
obstruksi dari saluran pernapasan. Pemberian B2 agonis dipertimbangkan jika
setelah pemberian nebulisasi B2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin dengan
atau tanpa ipratropium bromide pasien tidak berespon. Dosis salbutamol IV yang
diberikan adalah 0,2 mcg/kg/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kg setiap 15 menit
dengan dosis maksimal 4 mcg/kg/menit. Terbutalin IV diberikan dengan dosis 10
mcg/kg melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-4 mcg/kg/jam
dengan infuse kontinyu (Rahajoe et al.,
2013).
1. LONG
ACTING B2 AGONIS
Salmeterol dan formoterol adalah beta-2 agonis yang
kerjanya lebih panjang, diberikan secara inhalasi. Pemberian salmeterol,
formoterol, ditambahkan kortikosteroid regular dengan inhalasi berperan dalam
pengendalian jangka panjang asma kronik dan berguna untuk asma nocturnal.
Salmeterol tidak boleh digunakan untuk mengatasi serangan akut karena mulai
kerjanya lebih lambat dibanding salbutamol dan terbutalin (Anonim, 2015).
Salmeterol dan formoterol mempunyai waktu kerja lama
yaitu > 12 jam. Seperti pada umumnya, agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi
otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permabilitas
pembuluh darah, dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Walaupun pada pemberian jangka waktu lama, efek antiinflamasinya kecil, oleh
karenanya seringkali LABA ini dipadukan dengan steroid dalam penggunaannya.
Pemberian inhalasi LABA menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik
dibandingkan preparat oral (Anonim, 2003).
Efikasi dari LABA sebagai pengontrol asma bersama
glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan dengan penelitian dimana inhalasi LABA
sebaiknya diberikan ketika dosis glukokortikoid inhalasi gagal dalam
mengontrol. Pemberian LABA dikombinasikan dengan glukokortikoid lebih baik
hasilnya dibandingkan dengan peningkatan dosis glukokortikoid inhalasi 2 kali
lipat (Anonim, 2003).
Kombinasi steroid hirupan dan LABA sudah ada dalam
satu paket, yaitu kombinasi antara fluticasone propionate dan salmeterol,
menjadi Seretide, sedangkan kombinasi budesonide dan formoterol menjadi
Symbicort (Rahajoe et al., 2013).
Seretide tidak digunakan untuk gejala asma akut,
melainkan untuk terapi asma jangka panjang. Indikasi pemberian adalah untuk
pasien dengan obstruksi saluran napas reversible seperti asma dan PPOK. Efek samping obat adalah suara serak,
kandidiasis di mulut, reaksi hipersensitifitas, dan efek sistemik supresi
adrenal. Dosis yang digunakan untuk
obstruksi saluran napas kronis untuk 12 tahun keatas : 2 inhalasi 25 mcg
salbutamol dan 50 atau 125 atau 250 mcg
flutikason (Anonim, 2003).
Sediaan dalam paket symbicort yang berisi
kombinasi formoterol fumarat dihidrat dan budesonid diindikasikan juga untuk
terapi asma jangka panjang terutama jika asma tidak teratasi oleh inhalasi
kortikosteroid dan masih memerlukan stimulant adrenoseptor Beta 2. Dosis yang
diberikan pada anak anak (6 tahun ke atas) 6-11 tahun harus dosis rendah. Efek
samping yang dapat muncul adalah sakit kepala, agitasi, lemah, bingung, mual,
palpitasi, takikardi, tremor, dan iritasi tenggorokan (Anonim, 2003).