Selasa, 25 Oktober 2016

Prinsip Kerja dan Pemilihan Obat Tatalaksana Asma (Evidence-based)

   A.    Perencanaan Pengobatan Asma
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit. Jika kondisi stabil minimal dalam 1 bulan maka disebut asma terkontrol. Untuk mencapai asma terkontrol ada 3 hal yang penting untuk diperhatikan yaitu, obat-obatan, tahapan pengobatan, dan penganganan asma mandiri. Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, yang obat-obatannya terdiri dari pengontrol dan pelega (Anonim, 2003).
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan tiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol bisa juga disebut pencegah, meliputi (Anonim, 2003):
  •          Kortikosteroid inhalasi dan sistemik
  •           Sodium kromoglikat
  •           Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi dan oral
  •           Antihistamin generasi II
  •           Leukotrien modifiers

Berbeda halnya dengan pengontrol, jika pelega (reliever) untuk dilatasi jalan napas memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperresponsif jalan napas. Termasuk pelega (Anonim, 2003):
  •          Agonis beta-2 kerja singkat
  •           Kortikosteroid sistemik
  •           Antikolinergik
  •           Aminofilin
  •           Adrenalin

   B.    Obat adrenergic
Obat ini disebut obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya mirip dengan perangsanan pada saraf adrenergic, atau mirip neurotransmitter epinefrin dan norepinefrin. Kerja obat adrenergic dapat dikelompokkan menjadi 7 jenis, yaitu perangsangan organ perifer, inhibisi organ perifer, perangsangan jantung, sistem saraf pusat, efek metabolik, efek endokrin, dan efek prasinaptik. Obat adrenergic ada yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung (Sulistia & Gan, 2011).
Obat adrenergic yang bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di membrane sel efektor disebut obat adrenergic kerja langsung. Contohnya seperti isoproterenol, pada dosis yang biasa diberikan hanya bekerja pada reseptor B1 dan B2, sedikit sekali bisa mempengaruhi reseptor alfa. Sedangkan fenilefrin kebalikannya, hanya memperngaruhi reseptor alfa dan sedikit sekali efeknya pada B1 dan B2. Jadi efek suatu obat adrenergic dapat diketahui jika diketahui reseptor mana yang dipengaruhinya (Sulistia & Gan, 2011). Tabel berikut menunjukkan distribusi subtipe adrenoceptor.
Berbeda halnya dengan obat adrenergic kerja tidak langsung, diperlukan mekanisme ambilan obat adrenergic ke dalam ujung saraf adrenergic melalui NET (Norepinefrin Transporter) dan ke dalam gelembung sinaps melalui VMAT-2 (Vesicular Monoamine Transporter). Amfetamin dan tiramin merupakan contoh obat adrenergic yang bekerja tidak lansgung, artinya menimbulkan efek adrenergic melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergic (Sulistia & Gan, 2011)
Kaitan penggunaan obat adrenergic dengan pasien asma sangat kuat dan dapat dijelaskan berdasarkan patofisiologi yang mendasari terjadinya asma. Beta adrenergic short acting merupakan terapi dasar dan drug of choice pada serangan asma. Cara kerjanya adalah dengan menstimulasi reseptor beta adrenergic sehingga menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP, dengan demikian timbul relaksasi otot polos jalan napas dengan hasil akhir berupa bronkodilatasi. Ada dua reseptor beta, yang pertama B1 terutama terdapat di jantung, dan B2 yang berada d epitel saluran napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, dan pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan pankreas (Katzung, 2007). Golongan obat yang termasuk  beta adrenergic adalah epinefrin dan B2 agonis selektif, namun fokus pembahasan menekankan pada B2 agonis adrenergic selektif. 

    a.       B2 Agonis selektif
Obat-obat yang termasuk B2 agonis adalah metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol, formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis rendah, obat-obatan ini memiliki kerja yang kuat terhadap reseptor B2 dibanding B1, namun jika dosisnya ditinggikan selektifitas tersebut hilang. Melalui aktivitas reseptor B2, obat ini menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, uterus, dan pembuluh darah otot rangka. Jika reseptor B1 ikut teraktivasi maka efeknya adalah stimulasi ke jantung. Obat ini hanya menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, dikembangkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Namun demikian penggunaan masing-masing obat B2 agonis ini tidak sama selektivitasnya. Misalnya metaproterenol kurang selektif dibanding salbutamol dan penggunaan ritodrin, terbutalin, dan fenoteril digunakan (sebagai infuse) untuk menunda kelahiran premature (Sulistia & Gan, 2011).
Mekanisme kerja beta agonis telah diteliti secara detail. Aktivasi subtipe reseptor B1, B2, dan B3 menghasilkan aktivasi adenilat siklase dan peningkatan konversi ATP menjadi cAMP. Aktivasi enzim siklase dimediasi oleh stimulatory coupling protein Gs. cAMP merupakan second messenger utama dalam aktivasi reseptor beta. Beta agonis bekerja dalam memperbaiki gejala obstruksi pernapasan pada pasien asma dengan bronkodilatasi akibat dari relaksasi otot-otot polos saluran pernapasan (Katzung, 2007).
Walaupun mekanismenya pada otot polos masih belum pasti, kemungkinan mekanisme ini melibatkan fosforilasi myosin light-chain kinase menjadi bentuk inaktif. Pada gambar 1 dan 2 dapat dilihat secara jelas bagaimana mekanisme molecular dari beta agonis bekerja. B2 agonis selektif dibagi menjadi dua berdasarkan lama kerjanya, yaitu short acting B2 agonist (SABA) dan long acting B2 agonist (LABA) (Katzung, 2007).

   1.      SHORT ACTING B2 AGONIS
Gejala asma ringan sampai sedang memberikan respon yang cepat terhadap inhalasi adrenoseptor beta-2 selektif kerja pendek. Contoh yang termasuk SABA adalah salbutamol dan terbutalin.Cara pemberian selain oral adalah melalui inhalasi dengan inhaler/nebulizer dan subkutan atau intravena. Onset kerja melalui inhalasi lebih cepat yaitu 1 menit, dan efek puncaknya dicapai dalam waktu 10 menit, durasi kerja mencapai 4-6 jam (Rahajoe et al., 2013)
Obat yang sering digunakan untuk pasien asma adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kg/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kg/kali, setiap 6 jam. Pemberian oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncaknya dicapai dalam waktu 2-4 jam, dan durasi kerja obat ini hingga 5 jam (Rahajoe et al., 2013).
Pemberian obat B2 agonis adrenergic dapat dilakukan dengan inhalasi atau injeksi, namun cara inhalasi lebih disukai daripada subkutan atau intravena karena dapat menghindari risiko nyeri dan kegelisahan pada pasien. Untuk asma serangan ringan dapat diberikan metered dose inhaler (MDI) 2-4 semprotan setiap 3-4 jam, untuk asma serangan sedang 6-10 semprotan setiap 1-2 jam, dan untuk serangan asma berat memerlukan 10 kali semprotan. Pemberian MDI dengan spacer atau masker pada pasien asma akut dengan dosis 3-4 kali semprotan memiliki efek yang sama dengan nebulizer. Salbutamol nebulizer daapat diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mg/kg (maksimal 5 mg/kali) dengan interval 20 menit atau nebulisasi kontinyu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg/jam (maksimal 15mg/jam). Sedangkan nebulisasi dengan terbutalin diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1 repsules/nebulisasi. Pasien yang tidak responsive terhadap pemberian 2 kali inhalasi atau nebulizer maka dikategorikan sebagai non-responder, dan pada inhalasi ke-3 dapat ditambahkan ipratropium bromide (Rahajoe et al., 2013).
Pemberian alternatif jika alat inhaler atau nebulizer tidak tersedia adalah melalui injeksi subkutan salbutamol dengan dosis 10-20 mcg/kg/kali, sedangkan dosis terbutalin subkutan 5-10 mcg/kg/kali. Pemberian subkutan tidak memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi (Rahajoe et al., 2013).
Pemberian B2 agonis berguna pada serangan asma berat karena pada kondisi ini seringkali nebulisasi obat tidak dapat mencapai distal obstruksi dari saluran pernapasan. Pemberian B2 agonis dipertimbangkan jika setelah pemberian nebulisasi B2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin dengan atau tanpa ipratropium bromide pasien tidak berespon. Dosis salbutamol IV yang diberikan adalah 0,2 mcg/kg/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kg setiap 15 menit dengan dosis maksimal 4 mcg/kg/menit. Terbutalin IV diberikan dengan dosis 10 mcg/kg melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-4 mcg/kg/jam dengan infuse kontinyu (Rahajoe et al., 2013).

1.      LONG ACTING B2 AGONIS
Salmeterol dan formoterol adalah beta-2 agonis yang kerjanya lebih panjang, diberikan secara inhalasi. Pemberian salmeterol, formoterol, ditambahkan kortikosteroid regular dengan inhalasi berperan dalam pengendalian jangka panjang asma kronik dan berguna untuk asma nocturnal. Salmeterol tidak boleh digunakan untuk mengatasi serangan akut karena mulai kerjanya lebih lambat dibanding salbutamol dan terbutalin (Anonim, 2015).
Salmeterol dan formoterol mempunyai waktu kerja lama yaitu > 12 jam. Seperti pada umumnya, agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permabilitas pembuluh darah, dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Walaupun pada pemberian jangka waktu lama, efek antiinflamasinya kecil, oleh karenanya seringkali LABA ini dipadukan dengan steroid dalam penggunaannya. Pemberian inhalasi LABA menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral (Anonim, 2003).
Efikasi dari LABA sebagai pengontrol asma bersama glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan dengan penelitian dimana inhalasi LABA sebaiknya diberikan ketika dosis glukokortikoid inhalasi gagal dalam mengontrol. Pemberian LABA dikombinasikan dengan glukokortikoid lebih baik hasilnya dibandingkan dengan peningkatan dosis glukokortikoid inhalasi 2 kali lipat (Anonim, 2003).
Kombinasi steroid hirupan dan LABA sudah ada dalam satu paket, yaitu kombinasi antara fluticasone propionate dan salmeterol, menjadi Seretide, sedangkan kombinasi budesonide dan formoterol menjadi Symbicort (Rahajoe et al., 2013).
Seretide tidak digunakan untuk gejala asma akut, melainkan untuk terapi asma jangka panjang. Indikasi pemberian adalah untuk pasien dengan obstruksi saluran napas reversible seperti asma dan PPOK.  Efek samping obat adalah suara serak, kandidiasis di mulut, reaksi hipersensitifitas, dan efek sistemik supresi adrenal. Dosis yang digunakan  untuk obstruksi saluran napas kronis untuk 12 tahun keatas : 2 inhalasi 25 mcg salbutamol dan 50 atau 125 atau 250  mcg flutikason (Anonim, 2003).
Sediaan dalam paket symbicort yang berisi kombinasi formoterol fumarat dihidrat dan budesonid diindikasikan juga untuk terapi asma jangka panjang terutama jika asma tidak teratasi oleh inhalasi kortikosteroid dan masih memerlukan stimulant adrenoseptor Beta 2. Dosis yang diberikan pada anak anak (6 tahun ke atas) 6-11 tahun harus dosis rendah. Efek samping yang dapat muncul adalah sakit kepala, agitasi, lemah, bingung, mual, palpitasi, takikardi, tremor, dan iritasi tenggorokan (Anonim, 2003).

2 komentar:

  1. Mohon ijin bertanya, untuk tabel dosis dan sediaan dalam gambar di artikel ini sumbernya dari buku apa ya?terima kasih banyak

    BalasHapus
  2. maaf baru balas, itu dari panduan asma PDPI

    BalasHapus

Terimakasih atas komentarnya